Selasa, 16 Agustus 2016

abstrak



STEM stands for science, technology, engineering and mathematics and is an approach to education that aims to integrate these four separate disciplines. In theory, the idea of integration is clear, but in practice in a school setting it proves to be problematic due to the current structure of the educational curricula. In the current structure of educational curricula, usually only mathematics and science courses from STEM disciplines are included in school programmes and these courses are conducted in an isolated manner separate from other disciplines. This problem may be overcome by using interrelated applications such as the Geographic Information Systems (GIS) to integrate mathematics and science courses within STEM disciplines. As an interdisciplinary technology, GIS serves as a pedagogical tool for use in STEM education. Using a qualitative research paradigm, the current study evaluated a sample of junior (third-year) science teacher candidates (N=34) in a STEM educational setting using GIS. The data was collected from the written science texts of teacher candidates (e.g. the role of GIS in STEM teaching and science teaching; the implementation of STEM education in science classes) before and after the teaching intervention. At the end of the study, it was discovered that a four-week long teaching intervention had a positive effect on the science teacher candidates’ views of implementing STEM as well as improving their views on and awareness of GIS.
Keywords: Geographic Information Systems (GIS); Integrated Education; Science Teacher Candidates; STEM Education.

Kamis, 22 November 2012

Pembelajaran Matematika dengan Model Penemuan Terbimbing

Model penemuan merupakan model belajar yang dipopulerkan oleh Bruner. Model ini menghendaki keterlibatan aktif siswa dalam memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip, sedangkan guru mendorong siswa agar memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.
Menurut Karso dkk  belajar penemuan bukan merupakan cara belajar baru. Cara ini sudah digunakan puluhan abad yang lalu dan Socrates dianggap sebagai pemula dalam penggunaan metode ini. Bruner  mengatakan bahwa penemuan adalah suatu proses, suatu cara, atau pendekatan pemecahan masalah, bukan hasil kerja.
Prawironegoro mendefinisikan metode penemuan sebagai prosedur pembelajaran yang mempunyai tekanan siswa berlatih cakap mencapai tujuan dan siswa aktif mengadakan percobaan atau penemuan sendiri sebelum membuat kesimpulan dari yang dipelajari. Dengan demikian, materi yang akan dipelajari siswa tidak disajikan dalam bentuk final. Siswa harus melakukan aktivitas mental yang mungkin melibatkan aktivitas fisik dalam upaya memperoleh pemahaman pada materi tertentu. Selama proses penemuan, siswa memanipulasi, membuat struktur, dan mentransfer informasi sehingga menemukan informasi baru yang berupa konjekture, hipotesis, atau kebenaran matematika.
Hudojo berpendapat bahwa menemukan berarti menghasilkan sesuatu untuk pertama kali dengan menggunakan imajinasi, pikiran, atau eksperimen. Penemuan dalam belajar matematika berarti kegiatan menghasilkan suatu ide matematika, suatu aturan, atau suatu cara penyelesaian masalah untuk pertama kali. Ide matematika yang pertama kali ditemukan siswa belum tentu ide yang benar-benar baru, tetapi setidaknya baru bagi siswa. Ide yang ditemukan sendiri akan lebih dipahami dan diingat oleh si penemu. Karena itu, penemuan digunakan sebagai salah satu metode dalam belajar matematika. Lebih lanjut, Hudojo  menyebut metode penemuan sebagai suatu cara penyampaian topik matematika yang memungkinkan siswa menemukan sendiri pola-pola atau struktur-struktur matematika melalui serentetan pengalaman-pengalaman belajar yang lampau.
Bruner  menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, sehingga belajar dengan penemuan akan memberikan hasil yang paling baik. Lebih lanjut Bruner mengatakan bahwa belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar penemuan. Berbeda dengan Bruner, Ausubel pendapat bahwa belajar bermakna tidak hanya terjadi melalui penemuan. Belajar akan bermakna jika informasi yang akan dipelajari siswa disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa sehingga siswa dapat mengaitkan informasi baru dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Ausubel menambahkan bahwa metode penemuan aplikasinya terbatas dan membuang-buang waktu, karena itu perlu ada penemuan terbimbing.
Bell (1981:241) mengatakan bahwa belajar penemuan dapat terjadi di dalam situasi yang sangat teratur, baik siswa maupun guru mengikuti langkah-langkah yang  sistematis. Guru membimbing dan mengarahkan siswa selangkah demi selangkah dengan mengikuti bentuk tanya jawab yang telah diatur secara sistematis untuk membuat penemuan. Langkah-langkah kegiatan atau petunjuk dapat dituangkan dalam lembar kerja yang dibuat guru. Selain itu, diperlukan pula campur tangan guru untuk membangkitkan perhatian siswa pada tugas yang sedang dihadapi dan mengurangi pemborosan waktu. Ruseffendi (1988:18) menekankan adanya bimbingan guru dalam pembelajaran penemuan. Siswa-siswa bukanlah ilmuwan dan sesuatu yang dihadapi benar-benar merupakan sesuatu yang baru bagi siswa, sehingga petunjuk ataupun instruksi guru sangatlah diperlukan siswa.
Bell menyebut pembelajaran seperti di atas sebagai pembelajaran penemuan terbimbing yaitu pembelajaran yang agak berpusat pada guru karena siswa tidak merumuskan sendiri pertanyaannya. Guru menyiapkan lembar kerja yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab siswa dan penentuan urutan pertanyaan benar-benar diperhatikan. Amien sependapat dengan Bell bahwa dalam “guided discovery” guru memberikan bimbingan atau petunjuk yang cukup luas kepada siswa selama kegiatan penemuan. Sebagian besar perencanaan dibuat guru, siswa tidak merumuskan problem, petunjuk yang cukup luas tentang cara menyusun dan mencatat penemuan diberikan guru.
Gagne dan Brown  menyatakan bahwa penemuan terbimbing merupakan metode terbaik untuk menghasilkan kaidah-kaidah tertentu dalam belajar. Walaupun Ausubel tidak sepenuhnya mendukung metode penemuan terbimbing, tetapi ia sepakat bahwa penemuan cukup penting untuk meningkatkan pembelajaran pada anak-anak kecil. Gagne dan Ausubel juga sepakat bahwa metode ini lebih penting bagi anak-anak kecil daripada anak-anak yang lebih tua. Oleh karena itu, pembelajaran penemuan terbimbing sesuai dan dapat dilakukan di sekolah.
Sehubungan dengan model penemuan terbimbing, Hudojo (1984:5) menegaskan bahwa siswa memerlukan bimbingan setapak demi setapak untuk mengembangkan kemampuan memahami pengetahuan baru. Bimbingan dapat dilakukan melalui instruksi lisan atau tulisan untuk memperlancar belajar suatu konsep atau hubungan-hubungan matematika (Hudojo,1983:25). Dengan demikian, pembelajaran penemuan terbimbing melibatkan aktivitas guru dan siswa secara maksimal. Siswa aktif melakukan penemuan dan guru aktif memberi bimbingan secara bertahap dan menciptakan lingkungan yang memungkinkan siswa melakukan proses penemuan. Hal ini ditegaskan Marks (1988:13) yang mengatakan bahwa pembelajaran penemuan mencakup penciptaan suasana lingkungan atau cara yang memungkinkan siswa melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu yang baru bagi mereka.
Dalam geometri, model penemuan terbimbing dapat digunakan dalam pembelajaran materi Teorema Pythagoras (“kuadrat hipotenusa segitiga siku-siku sama dengan jumlah kuadrat sisi-sisinya”). Seperti diketahui, dalam sejarah pengembangan matematika, Pythagoras menemukan teori ini melalui beberapa kegiatan pengamatan dan pengukuran (Bell, 1981:244). Langkah-langkah Pythagoras dalam menemukan teori ini dapat diadaptasi sesuai dengan perkembangan siswa, sehingga dapat digunakan sebagai metode dalam pembelajaran di sekolah. Siswa diajak melakukan serangkaian kegiatan sehingga ia merasa benar-benar sebagai penemu teori tersebut.
Aplikasi metode penemuan terbimbing di sekolah dapat dilihat pada pembelajaran “penemuan jumlah ketiga sudut sebuah segitiga dengan cara menggunting ketiga daerah sudutnya dan menyusunnya kembali” dan “pengertian diagonal dan penentuan banyak diagonal suatu poligon dengan menggunakan papan berpaku dan karet gelang” (Marks, 1988: 15-122). Pada kedua pembelajaran tersebut, siswa melakukan pengamatan, mengorganisasikan hasil pengamatan, membuat dugaan, dan mengujinya. Dugaan atau hasil temuan siswa dapat berupa aturan-aturan, pola-pola, hubungan-hubungan, atau cara menyelesaikan suatu hal dalam geometri. Jadi, penerapan metode penemuan terbimbing dalam pembelajaran geometri di sekolah dasar tidak mengharuskan siswa menemukan suatu konsep atau prinsip geometri yang standar (seperti yang ditemukan oleh seorang ahli) tetapi kalau di sekolah menengah dituntut harus menemukan konsepnya. Pada pembelajaran penemuan, siswa sebagai penemu sesuatu yang belum diketahuinya. 
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, metode penemuan terbimbing dalam pembelajaran matematika, khususnya geometri, adalah suatu model pembelajaran yang menghendaki siswa menemukan ide-ide dalam geometri -- misalnya: aturan, pola, hubungan, atau cara menyelesaikan suatu masalah-- melalui keterlibatannya secara aktif dalam pembelajaran yang didasarkan pada serentetan pengalaman-pengalaman belajar yang lampau. Yang dimaksud keterlibatan secara aktif dapat berupa kegiatan mengadakan percobaan/penemuan sebelum membuat kesimpulan, atau memanipulasi, membuat struktur, dan mentransfer informasi sehingga menemukan informasi baru yang berupa kebenaran matematika. Selama proses penemuan, siswa mendapat bimbingan guru baik berupa petunjuk secara lisan maupun petunjuk tertulis yang dituangkan dalam bentuk lembar kerja siswa. Guru menciptakan lingkungan atau cara yang memungkinkan siswa melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu. Pemberian bimbingan dimaksudkan untuk membangkitkan perhatian pada tugas yang sedang dihadapi, mengurangi pemborosan waktu, dan menghindari kegagalan proses penemuan.

Langkah-langkah Pembelajaran Model Penemuan Terbimbing
Untuk menghindari kegagalan dan memaksimalkan kegiatan siswa dan guru dalam proses penemuan, maka pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing harus direncanakan. Pembuatan perencanaan harus memperhatikan: (a) pengetahuan prasyarat yang dimiliki siswa dan mendukung proses penemuan; (b) pengetahuan tentang aktivitas yang mungkin dilakukan siswa; (c) peran guru dalam kegiatan penemuan; (d) sumber atau sarana belajar yang diperlukan, misalnya lembar kerja: dan (e) hasil akhir yang harus ditemukan siswa.
Suchman (Kartawisastra dkk, 1980:3) menyebutkan sembilan  langkah “Guided Discovery Lesson” (pembelajaran penemuan terbimbing). Langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut.
a.       Adanya masalah/problem yang akan dipecahkan yang dinyatakan dalam berbagai “pernyataan” atau “pertanyaan”.
b.      Jelas disebutkan tingkatan/kelas siswa yang akan mengikuti pembelajaran.
c.       Konsep atau prinsip yang harus ditemukan siswa ditulis dengan jelas.
d.      Perlu disediakan alat/bahan sesuai dengan kebutuhan siswa dalam melaksanakan kegiatan penemuan.
e.       Diskusi pengarahan dilakukan dalam bentuk tanya jawab antara siswa dan guru sebelum para siswa melakukan kegiatan penemuan.
f.       Kegiatan pembelajaran penemuan dapat berupa penyelidikan/percobaan untuk menemukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang telah ditetapkan.
g.      Proses berpikir kritis perlu dijelaskan untuk menunjukkan adanya “mental operation” siswa yang diharapkan dalam kegiatan.
h.      Pertanyaan-pertanyaan yang mengarah kepada pengembangan kegiatan penyelidikan siswa perlu diberikan.
i.        Catatan guru meliputi penjelasan tentang bagian-bagian yang sulit dari pelajaran dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilannya, terutama bila kegiatan penyelidikan mengalami kegagalan atau tidak berjalan seperti yang direncanakan.
Sedangkan Menurut Rachmadi (2004: 5-6) agar pelaksanaan model penemuan terbimbing ini berjalan dengan efektif, beberapa langkah yang mesti ditempuh oleh guru matematika adalah sebagai berikut :
1.      Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya, perumusannya harus jelas, hindari pernyataan yang menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang ditempuh siswa tidak salah.
2.      Dari data yang diberikan oleh guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir dan menganalisis data tersebut. Dalam hal ini, bimbingan guru dapat diberikan sejauh yang diperlukan saja. Bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkah ke arah yang hendak dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan atau LKS.
3.      Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukannya.
4.      Bila dipandang perlu, konjektur yang telah dibuat oleh siswa tersebut di atas diperiksa oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan siswa sehingga akan menuju arah yang hendak dicapai.
5.      Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut maka verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan juga pada siswa untuk menyusunnya. Di samping itu perlu diingat pula bahwa induksi tidak menjamin 100% kebenaran konjektur.
6.      Sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar atau tidak.  
    Keuntungan dan Kekurangan Model Penemuan Terbimbing
Pemilihan model penemuan terbimbing sebagai salah satu metode pembelajaran didasarkan pada beberapa keuntungan yang dimilikinya. Hirdjan (dalam Paeru, 1987:36) mengemukakan keuntungan metode penemuan adalah: “agar siswa kelak di kemudian hari tabah menghadapi persoalan baru di dalam masyarakat dan mampu memecahkan atau menemukan sendiri penyelesaiannya”. Biggs (dalam Orton, 1993:89 ) mengatakan bahwa metode penemuan merupakan cara terbaik memberi kesenangan nyata anak kepada matematika. Metode ini satu-satunya cara memberi kesempatan siswa untuk berpikir sendiri sehingga mereka menyadari potensi dirinya.
Bruner (dalam Amin, 1987:133-134) sebagai pencetus metode penemuan mengemukakan beberapa keuntungan pembelajaran dengan metode penemuan.
Keuntungan yang dimaksud dirinci seperti berikut ini.
1)      Membantu siswa memahami konsep dasar dan ide-ide secara lebih baik.
2)      Membantu dalam menggunakan daya ingat dan transfer pada situasi-situasi proses belajar yang baru.
3)      Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatifnya sendiri.
4)      Proses belajar penemuan dibuat “open-ended” sehingga mendorong siswa berpikir inisiatif dan merumuskan hipotesisnya sendiri.
5)      Memberikan kepuasan yang bersifat intrinsik.
6)      Situasi proses belajar menjadi lebih merangsang.
Menurut Hudojo (1984:7), penerapan metode penemuan dalam pembelajaran mempunyai beberapa keuntungan seperti dipaparkan berikut ini.
1)      Siswa ikut berpartisipasi secara aktif di dalam kegiatan belajarnya sebab ia harus berpikir, bukan sekedar mendengarkan informasi atau menelaah seonggok ilmu pengetahuan yang telah siap.
2)      Siswa benar-benar memahami suatu konsep atau rumus sebab mengalami sendiri proses mendapatkan rumus itu.
3)      Metode ini memungkinkan pengembangan sifat ilmiah dan menimbulkan semangat ingin tahu para siswa.
4)      Dengan metode penemuan terbimbing, guru tetap mempunyai kontak pribadi dengan siswa.
5)      Terbukti bahwa siswa yang memperoleh pengetahuan melalui metode penemuan lebih mampu menstransfer pengetahuannya ke berbagai konteks.
6)      Metode ini membatasi guru untuk menambah materi baru bila siswa masih belum memahami materi yang sedang dipelajari.
Prawironegoro (1980:5-6) menambahkan beberapa keuntungan pembelajaran dengan metode penemuan seperti dirinci berikut ini.
1)      Memberikan pandangan ilmu yang lebih luas kepada siswa untuk menuju keberhasilan.
2)      Melatih siswa lebih banyak belajar sendiri, jadi siswa melibatkan akunya dan memotivasi diri sendiri untuk belajar.
3)      Mengembangkan kepribadian siswa menuju akhir kebenaran ilmu.
4)      Memberi kesempatan siswa yang pandai untuk bekerja sendiri dan menyelesaikan pelajarannya lebih dahulu.
Beberapa keuntungan yang dikemukakan di atas menjadi pertimbangan positif dalam memilih metode penemuan sebagai salah satu model pembelajaran matematika. Agar pembelajaran dengan metode penemuan dapat mencapai hasil maksimal, maka perlu diwaspadai beberapa kekurangan atau kelemahannya. Salah satu kekurangan metode ini adalah siswa yang tidak dapat menyelesaikan tugasnya akan frustasi (Prawironegoro, 1980:6).
Hudojo (1984:7) merinci kekurangan metode penemuan seperti berikut ini.
1)      Memerlukan banyak waktu dan belum dapat dipastikan apakah siswa akan tetap bersemangat menemukan.
2)      Tidak semua guru mempunyai semangat dan kemampuan mengajar dengan metode ini, terutama guru yang pekerjaannya “sarat muatan”.
3)      Tidak setiap siswa dapat diharapkan menjadi seorang “penemu”. Bimbingan yang tidak sesuai dengan kesiapan intelektual siswa akan merusak struktur kognitifnya.
4)      Pembelajaran menggunakan kelas kecil karena perhatian guru terhadap masing-masing siswa sangat diperlukan.
Marks (1988:19) menambahkan dua kekurangan penggunaan metode penemuan sebagai berikut. 
1)      Tidak semua materi matematika dapat dikuasai dengan metode penemuan. Jika mungkin, tidak tersedia waktu yang cukup untuk menggunakan metode penemuan secara eksklusif.
2)      Kegiatan yang bersifat fisik kadang-kadang dapat menutupi ide matematika yang hendak disampaikan. Bimbingan dan pengarahan yang kurang memadai membuat siswa hanya bermain-main.
Dengan memperhatikan keuntungan metode penemuan yang lebih banyak daripada kekurangannya, maka penggunaan metode penemuan terbimbing tetap dianggap sebagai cara yang efektif dan efisien dalam pembelajaran matematika yang bertujuan untuk memecahkan suatu masalah yang relevan dengan perkembangan kognitif anak. Apalagi pada kenyataannya penggunaan metode ini hanya sulit pada permulaannya, tetapi selanjutnya dapat membantu siswa belajar lebih cepat menemukan sendiri apa yang tidak diketahui (Hudojo, 1980:3).

  Kesimpulan
Berdasarkan uraian bebera teori di atas dapat disimpulkan bahwa Peranan guru dalam proses pembelajaran matematika merupakan hal yang paling penting, tanpa seorang guru maka proses pembelajaran tidak akan berjalan dengan baik, disamping itu seorang guru harus mampu menerapkan berbagai macam model pembelajaran supaya dalam proses pembelajaran berjalan efektif dan menyenangkan.  Bagi siswa bimbingan dari guru merupakan hal yang sangat diperlukan dalam pembelajaran. Model penemuan terbimbing adalah salah satu dari model pembelajaran matematika yang dapat digunakan untuk membimbing siswa dalam meningkatkan motivasi, aktivitas dan pemahaman siswa, Dalam pembelajaran penemuan terbimbing  siswa ikut berpartisipasi secara aktif di dalam kegiatan belajarnya sebab ia harus berpikir, bukan sekedar mendengarkan informasi atau menelaah seonggok ilmu pengetahuan yang telah siap dan juga siswa mengalami sendiri proses mendapatkan rumus itu. penggunaan model penemuan terbimbing tetap dianggap sebagai cara yang efektif dan efisien dalam pembelajaran matematika yang bertujuan untuk memecahkan suatu masalah yang relevan dengan perkembangan kognitif anak.



Daftar Pustaka
Amin, Moh. 1987. Mengajarkan Ilmu Pengetahuan Alam dengan Menggunakan Metode “Discovery” dan “Inquiry”. Jakarta: Depdikbud-Dirjen Dikti.
Bell, Frederick H. 1981. Teaching and Learning Mathematic (In Secondary Schools). Iowa: Wm. C. Brown Company Publishers. 
Chotimah, Siti. 1995. Pengaruh Penggunaan Metode Penemuan Terbimbing dalam Mengajar Matematika terhadap Hasil Belajar Peserta Didik SMU Negeri 2 Kabupaten Lumajang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: FPMIPA IKIP Malang

Dahar, Ratna Willis. 1988. Teori-teori Belajar. Jakarta: Depdikbud. Dirjen Dikti P2LPTK.
Hudojo, Herman. 1984. Metode Mengajar Matematika. Jakarta: Depdikbud-Dirjen Dikti.
______________. 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang.
______________. 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivistik. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Upaya-Upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika dalam Menghadapi Era Globalisasi: Perspektif  Pembelajaran Alternatif-Kompetitif. Malang, 4 Maret. 
Jamrodi, A. dan Mbulu, Josep. 1990/1991. Mengajar Matematika di Sekolah Dasar. Malang: IKIP Malang-Proyek Operasi & Perawatan Fasilitas.
Karso, dkk. 1993/1994. Dasar-dasar Pendidikan MIPA (modul 1-6). Jakarta: Depdikbud- Dirjen Dikdasmen.
Kartawisastra, H. Una. Abimanyu, Soli dkk. 1999. Penemuan sebagai Metode Belajar Mengajar. Jakarta: Proyek Pengembangan Pendidikan Guru (P3G) Depdikbud.
Mangunwijaya, Y.B. 1998. Beberapa Gagasan tentang Sekolah Dasar bagi 20 Juta Anak dari Keluarga Kurang Mampu. Pendidikan Sains yang Humanistik (hlm. 16-27). Yogyakarta: Kanisius.
Marks, John L.  Hiatt, Arthur A. dan Neufeld, Evelyn M. 1988. Metode Pengajaran Matematika untuk Sekolah Dasar. Alih Bahasa: Ir. Bambang Sumantri. Jakarta: Erlangga.
Paeru, Ahmad Daud. 1987. Eksperimen Metode Penemuan dan Ekspositori dalam Mengajarkan Komposisi Transformasi di Kelas II Ilmu-Ilmu Fisika di SMA Negeri Kodya Ujung Pandang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pasca Sarjana IKIP Malang.
Orton, Anthony. 1993. Learning Mathematics: Issues, Theory, and Classroom Practice. New York: Cassel.
Prawironegoro, Pratiknyo. 1980. Metode Penemuan untuk Bidang Studi Matematika. Jakarta: P3G Pdan K.
Soedjadi, R. 1999/2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Konstatasi Keadaan Masa Kini menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Dirjen Dikti-Depdiknas.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruksitivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Wardhani, Sri. 1999/2000. Konstruktivisme: Teori dan Implikasinya dalam Kegiatan Belajar Mengajar Matematika. Jakarta: Depdiknas.

http://jalius12.wordpress.com/2009/10/06/model penemuan terbimbing. diakses pada tanggal 9 Nopember 2011.





Kamis, 27 Oktober 2011

Pembelajaran Kooperatif tipe GI (Group Investigation)

Model pembelajaran kooperatif tipe GI (Group Investigation) dikembangkan oleh Shlomo dan Yael Sharan di Universitas Tel Aviv. Stahl (1999: 257-258) menyebutkan bahwa:
 group investigationin particular encourages students’ initiative and responsibility for their work, as individuals, as members of study groups, and as members of an entire class. The investigation combines independent study as weel as work in pairs and in small groups (from three to five students). When they complete their search, groups integrate and summarize their findings and decide how to present the essence of their work to their classmates.
Makna dari pendapat Stahl di atas menyatakan bahwa dalam investigasi kelompok siswa diberikan tanggung jawab terhadap pekerjaan mereka, baik secara individu, berpasangan maupun dalam kelompok. Setiap kelompok investigasi terdiri dari 3-5 orang, dan akhirnya siswa dapat menggabungkan, mempersentasikan dan mengikhtisarkan jawaban mereka.
Pelaksanaan investigasi kelompok menurut Stahl (1999: 265-266) dapat dilakukan dengan:
 chosing the problem to investigate, preparing for a group investigation task, and introducing the project, sedangkan guru dapat berperan dalam guiding the students and facilitating the process of investigation and helping maintain cooperative norms of behavior. 
    
Pernyataan di atas mengandung makna bahwa pelaksanaan investigasi kelompok dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu memilih persoalan untuk diivestigasi, menyiapkan tugas investigasi kelompok dan memperkenalkan proyek yang berhubungan dengan materi pembelajaran. Sedangkan peran guru selama pembelajaran investigasi kelompok adalah: membimbing siswa dan memfasilitasi proses investigasi dan membantu menjaga aturan perilaku kooperatif.
Menurut Slavin (1995: 113-114) dalam implementasi teknik group investigation dapat dilakukan melalui 6 (enam) tahap. Tahapan tersebut adalah: 1) identifying the topic and organizing pupils into groups, 2) planning the learning task, 3) carring out the investigation, 4) preparing a final report, 5) presenting the final report, and 6) evaluation. Dengan melihat tahapan tersebut, maka pembelajaran dengan teknik group investigation berawal dari mengidentifikasi topik dan mengatur murid kedalam kelompok, merencanakan tugas yang akan dipelajari, melaksanakan investigasi, menyiapkan laporan akhir, mempersentasikan laporan akhir dan berakhir pada evaluasi.
Dari uraian pendapat Slavin, di atas dapat dijelaskan bahwa dalam group investigation, para siswa bekerja melalaui enam tahapan. Tahapan-tahapan ini dan komponen-komponennya dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.      Mengidentifikasikan topik dan mengatur siswa ke dalam kelompok.
a)      Para siswa meneliti beberapa sumber, mengusulkan sejumlah topik dan mengkategotikan saran-saran.
b)      Para siswa begabung dengan kelompoknya untuk mempelajari topik yang mereka pilih.
c)      Komposisi kelompok didasarkan pada ketertarikan siswa dan harus bersifat homogen.
d)     Guru membantu dalam mengumpulkan informasi dan memfasilitasi pengaturan.
2.      Merencanakan tugas yang akan dipelajari
Para siswa merencanakan bersama mengenai apa yang akan dipelajari, bagaiman memepelajarinya dan pembagian tugas .
3.      Melaksanakan investigasi
a)      Para siswa mengumpulkan informasi, mengenai data dan membuat kesimpulan
b)      Tiap anggota kelompok berkontribusi untuk usaha-usaha yang dilakukan kelompoknya.
c)      Para siswa saling bertukar, bediskusi, mengklasifikasi, dan mensintesis semua gagasan.
4.      Menyiapkan laporan akhir
a)    Anggota kelompok menentukan pesan-pesan esensial dari tugas mereka
b)   Anggota kelompok merencanakan apa yang mereka laporkan, dan bagaiman mereka membuat pesentasinya.
c)    Wakil-wakil kelompok membentuk panitia untuk mengkoordinasikan rencana-rencana presentasi.
5.      Mempresentasikan laporan akhir
a)    Presentasi yang dibuat untuk semua kelas dan berbagai macam bentuk
b)   Presentasi harus dapat melibatkan peseta secara aktif
c)    Para peserta mengevaluasi kejelasan dan penampilan presentasi berdasarkan keriteria yang telah ditentukan sebelumnya.
6.      Evaluasi
a)    Para siswa saling meberikan umpan balik mengenai topik tersebut.
b)   Guru dan murid berkolaborasi dalam mengevaluasi pembelajaran siswa.
c)    Penilaian atas pembelajaran harus mengevaluasi pemikiran paling tinggi.
d)   Pendekatan lain untuk mengevaluasi dapat dengan membuat para siswa merekonstruksi proses investigasi yang telah mereka lakukan dan memetakan langkah-langkah yang telah mereka terapkan dalam pembelajaran mereka.
         Slavin (1995: 113-114) menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas investigasi siswa dapat:
students gather information, analyze the data and reach conclusions, 2) each group member contributes to the group effort, and 3) students exchange discuss clarify, and synthesize ideas. Dalam menyiapkan laporan akhir, aktifitas yang dilakukan adalah:1) group members determine the essential message of their project, 2) group members plan what they will report and how they will make their presentation and 3) group representatives form a steering committee to coordinate plans for the presentation.  Pada tahap mempersentasekan laporan akhir yang harus dipehatikan adalah the presentation is made to the entire class in a variety of forms, part of the presentation should actively involve the audience, and the audience evaluates the clarity and appeal of presentation according to criteria determined in advance by the whole class. Sedangkan dalam evaluasi, aktifitas siswa adalah students share feedback about the topik, about the work they did, and about their effective experiences (1) teachers and pupils collaborate in evaluating student learning, and (3) assessment of learning should evaluate higher-level thinking.
Pendapat tersebut mengandung pengertian bahwa dalam melaksanakan tugas investigasi siswa dapat mengumpulkan informasi, menganalisis, dan membuat simpulan, setiap anggota kelompok berkontribusi untuk usaha-usaha yang dilakukan kelompoknya, dan saling bertukar pikiran, berdiskusi, mengklarifikasi, dan mensintesis semua gagasan, sedangkan dalam menyiapkan laporan akhir, aktifitas yang dilakukan siswa adalah nggota kelompok menentukan pesan-pesan esensial dari pekerjaan mereka, anggota kelompok merencanakan apa yang akan mereka laporkan dan bagaimana membuat persentase, wakil-wakil kelompok membentuk sebuah tim untuk mengkoordinasikan rencana persentasi. Dalam mempersentasikan laporan akhir, persentase harus dapat melibatkan pendengarnya secara aktif dan pendengar menevaluasi berdasrakan keriteria yang telah ditentukan sebelumnya, sedangakan pada tahap evaluasi, siswa saling memberikan umpan balik, kolaborasi guru dan murid dalam mengevaluasi pembelajaran dan penilaian atas pembelajaran harus mengevaluasi pemikiran yang paling tinggi

Pembelajaran Kooperatif dengan tipe TA

Pembelajaran kooperatif tipe TAI merupakan metode pembelajaran dengan kelompok heterogen yang memberikan informasi untuk memahami suatu konsep matematika. TAI dirancang khusus untuk mengajarkan matematika. Matematika TAI (Team Accelarate Instruction) di prakarsai sebagai usaha  merancang sebuah bentuk pengajaran individual yang bisa menyelesaikan masalah-masalah yang membuat metode pengajaran individual menjadi tidak efektif (Slavin, 1995: 98). Dalam TAI Siswa bekerja sama antar kelompok dalam usaha memecahkan masalah. Dengan demikian dapat memberikan peluang kepada siswa yang berkemampuan rendah untuk dapat meningkatkan kemampuannya karena termotivasi oleh siswa lain yang mempunyai kemampuan yang lebih tinggi. Diharapkan partisipasi siswa dalam pembelajaran  matematika akan meningkat sehingga hasil belajar siswa juga akan meningkat.
Slavin (1995: 98) mengatakan bahwa “TAI math began as an attemt to design a form of individualized instruction that would solve the problems that had made earlier individualized programs ineffective”. Yang maknanya adalah matematika TAI diprakarsai sebagai usaha merancang sebuah bentuk pengajaran individual yang bisa menyelesaikan masalah-masalah yang membuat metode pengajaran individual menjadi tidak efektif. Dengan membuat siswa bekerja dalam tim-tim kooperatif dan mengemban tanggung jawab mengelola dan memeriksa secara rutin, saling membantu satu sama lain dalam menghadapai masalah, dan saling memberi dorongan untuk maju, maka guru dapat membebaskan diri mereka dari pengajaran langsung kepada sekolompok kecil siswa yang homogen yang berasal dari tim-tim siswa yang heterogen.
Adapun TAI menurut Slavin (1995: 7) adalah sebagai berikut :
however, the individualization that is part of TAI makes it quite different from STAD and TGT. In mathematics, most concepts buld on earlier one. If the earlier concept were not mastered the later ones will be difficult or imposible to learn; a student who cannot substract or multiply will be unable to master on division, a student who does not understand fractional concept will be unable to understand what a decimal is, and so on. In TAI, student work at their own levels, so if they lack prerequisite skills they can build a strong foundation before going on. Also, if student can progress more rapidly, they need not wait for the rest of the class.
Bagaimanapun, individualisasi adalah bagian dari TAI yang membuatnya berbeda dari STAD dan TGT. Dalam matematika, kebanyakan konsep berdasar pada konsep sebelumnya. Jika konsep awal tidak dikuasai, dikemudian hari siswa akan kesulitan mempelajari lebih lanjut, seorang siswa yang tidak bisa pengurangan atau perkalian akan tidak mampu menguasai pembagian, seorang siswa yang tidak mampu memahami konsep pecahan akan tidak mampu memahami apa itu desimal, dan seterusnya. Dalam TAI, para siswa bekerja berdasarkan level mereka sendiri, jadi jika mereka kurang trampil dalam materi prasyarat mereka dapat membangun pondasi yang kuat sebelum melajutkan. Juga, jika para siswa dapat maju lebih cepat, mereka tidak perlu menunggu yang lain yang belum selesai.
Model pembelajaran kooperatif tipe TAI ini memiliki 8 komponen, kedelapan komponen tersebut adalah sebagai berikut.
1.      Teams yaitu pembentukan kelompok heterogen yang terdiri dari 4 sampai 5 siswa.
2.      Placement Test yaitu pemberian pre-test kepada siswa atau melihat rata-rata nilai harian siswa agar guru mengetahui kelemahan siswa pada bidang tertentu.
3.      Curriculum materials yaitu materi yang dikerjakan oleh siswa sesuai dengan kurikulum yang ada.
4.      Team Study yaitu tahapan tindakan belajar yang harus dilaksanakan oleh kelompok dan guru memberikan bantuan secara individual kepada siswa yang membutuhkan. Para siswa mengerjakan unit – unit mereka dalam kelompok mereka atau dengan kata lain siswa diberikan untuk mengerjakan soal secara individu terlebih dahulu kemudian setelah itu mendiskusikan hasilnya dengan kelompok masing – masing.
5.      Team Score and Team Recognition yaitu pemberian score terhadap hasil kerja kelompok dan memberikan kriteria penghargaan terhadap kelompok yang berhasil secara cemerlang dan kelompok yang dipandang kurang berhasil dalam menyelesaikan tugas.
6.      Teaching Group yaitu pemberian materi secara singkat dari guru menjelang pemberian tugas kelompok.
7.      Fact test yaitu pelaksanaan tes-tes kecil berdasarkan fakta yang diperoleh siswa.
8.      Whole-Class Units yaitu pemberian materi oleh guru kembali diakhir waktu pembelajaran dengan strategi pemecahan masalah.
(Slavin, 1995).
Adapun tahap-tahap dalam model pembelajaran TAI adalah sebagai berikut.
1.      Guru menyiapkan materi bahan ajar yang akan diselesaikan oleh kelompok siswa.
2.      Guru memberikan pre-test kepada siswa atau melihat rata-rata nilai harian siswa agar guru mengetahui kelemahan siswa pada bidang tertentu. (Mengadopsi komponen Placement Test).
3.      Guru memberikan materi secara singkat. (Mengadopsi komponen Teaching Group).
4.      Guru membentuk kelompok kecil yang heterogen tetapi harmonis berdasarkan nilai ulangan harian siswa, setiap kelompok 4-5 siswa. (Mengadopsi komponen Teams).
5.      Setiap kelompok mengerjakan tugas dari guru berupa LKS yang telah dirancang sendiri sebelumnya, dan guru memberikan bantuan secara individual bagi yang memerlukannya. Siswa terlebih dahulu diberikan kesempatan untuk mengerjakan LKS secara individu, baru setelah itu berdiskusi dengan kelompoknya. (Mengadopsi komponen Team Study).
6.      Ketua kelompok melaporkan keberhasilan kelompoknya dengan mempresentasikan hasil kerjanya dan siap untuk diberi ulangan oleh guru.
7.      Guru memberikan post-test untuk dikerjakan secara individu. (Mengadopsi komponen Fact Test).
8.      Guru menetapkan kelompok terbaik sampai kelompok yang kurang berhasil (jika ada) berdasarkan hasil koreksi. (Mengadopsi komponen Team Score and Team Recognition).
9.      Guru memberikan tes formatif sesuai dengan kompetensi yang ditentukan.
Keuntungan dan kelemahan pembelajaran kooperatif tipe TAI.
Keuntungan pembelajaran kooperatif tipe TAI adalah sebagai berikut.
1.      Siswa yang lemah dapat terbantu dalam menyelesaikan masalah;
2.      Siswa diajarkan bagaimana bekerjasama dalam suatu kelompok;
3.      Siswa yang pandai dapat mengembangkan kemampuan dan
ketarmpilannya;
4.      Adanya rasa tanggung jawab dalam kelompok dalam
menyelesaikan masalah.
Kelemahan pembelajaran kooperatif tipe TAI adalah sebagai berikut.
1.      Siswa yang kurang pandai secara tidak langsung akan
menggantungkan pada siswa yang pandai;
2.      Tidak ada persaingan antar kelompok

abstrak

STEM stands for science, technology, engineering and mathematics and is an approach to education that aims to integrate these four separ...